Representasi Outsider Sebagai Pengungkapan Masalah Sosial Melalui Tokoh Komik
Tokoh yang terpinggirkan
Sebagai media seni, komedi memiliki keberanian untuk menabrak batas-batas perfilman. Komedi menjadi bagian dari
industri seni yang mampu mengungkapkan kesulitan antara keterbatasan dan
kekacauan hidup melalui candaan audio visual maupun situasi komikal. Salah satu
hal menarik dalam film komedi berangkat dari kemampuan ini adalah hadirnya
tokoh komik yang merepresentasikan seorang outsider, seseorang yang
berada dalam masyarakat namun tidak bisa menjadi bagian darinya.
Film Seleb Kota Jogja (2010) mengikutsertakan unsur komedi
ini dalam pembangunan karakternya. Ketiga anggota grup musik SKJ ditampilkan
sebagai orang-orang yang dianggap tidak layak untuk menjadi grup musik handal
akibat penampilan dan pembawaan mereka yang begitu ndeso. Penokohan ini
tampak dalam banyak bagian film, dibangun dengan konteks sosial dramatik.
Pembangunan dramatik untuk menunjukkan konteks sosial
Kekuatan penokohan outsider sebagai metode
penyampaian pesan tidak lepas bagaimana latar belakang penokohan
itu dibangun. Sisi dramatik film merupakan hal yang digunakan untuk
menunjukkan bagaimana individu outsider adalah hasil dari sebentuk
kesenjangan, baik itu secara sosial, ekonomi, gender, usia, maupun bentuk
lainnya. Penggambaran dramatik ini mampu menunjukkan bahwa para outsider adalah
seorang korban dari masalah sosial.
Sisi dramatik dari film Seleb Kota Jogja juga ikut menyentuh
latar belakang ini. Kontrasnya latar belakang antara tokoh protagonis dan tokoh
antagonis adalah akibat dari kesenjangan sosial, ekonomi, dan bahkan akibat beauty
privilege. Tokoh antagonis yang digambarkan kaya, tampan, dan dikelilingi
gadis-gadis cantik membuat latar belakang tokoh protagonis terasa benar-benar
kecil jika dibandingkan.
Latar belakang ini juga dimunculkan dalam adegan film,
contohnya adalah saat tokoh antagonis diperkenalkan dengan mobil mewahnya dan
hampir mencelakakakan tokoh protagonis yang hanya naik sepeda, tokoh protagonis
yang dilarang menggunakan ruang musik kampus dan dipaksa keluar oleh tokoh antagonis,
dan bahkan pelemparan sampah dan olok-olok yang dialami tokoh protagonis ketika
mereka sedang membawakan lagu.
Mengajak penonton untuk tertawa karena relate dengan situasi yang disajikan
Dengan membangun latar belakang ini, kita bisa mendapat
senjata kuat untuk menanamkan nilai pada penonton. Di masa sekarang pun,
masalah beauty privilege juga sangat sering dibicarakan oleh warganet
karena terlihat jelas reaksi sosial positif cenderung ditujukan kepada
orang-orang dengan penampilan menarik. Perundungan akibat kesenjangan sosial
juga merupakan masalah yang sulit dihilangkan dari masyarakat, apalagi adanya
media sosial menjadikan interaksi sosial terjadi secara cepat diiringi dampak positif dan negatifnya.
Menanamkan nilai dengan mengajak menonton tertawa adalah sebuah
pengalaman yang menyenangkan bagi penonton untuk berinteraksi dengan nilai
moral film. Dengan melihat representasi outsider yang bisa keluar dari struggle
yang dia alami dalam lingkungan sosialnya, penonton bisa memetik dua hal: pertama,
bagaimana mereka bisa mengurangi perundungan pada orang-orang yang ‘berbeda’ dan
bisa speak up ketika melihat hal itu terjadi, dan kedua, memberikan
semangat tersendiri bagi penonton yang sedang mengalami kondisi serupa untuk terus
berusaha, karena dengan usaha yang dia lakukan dia dapat memetik hasil yang
memuaskan, tak peduli apa yang orang-orang katakan.
Melalui pembangunan latar belakang yang baik, penokohan outsider
dapat membuka mata masyarakat pada orang-orang yang terpinggirkan akibat ketidaksetaraan
sosial dan menjadi tempat yang kuat bagi pembuat film untuk menyampaikan
amanatnya.
1 Comments
test
ReplyDelete